Nyatanya, Keputusan Bukan Soal Pilihan, tapi Soal Risiko Mana yang Lebih Bisa Kita Terima
Sadar nggak sadar, mau nggak mau, nyatanya, dalam hidup ini kita selalu dihadapkan dengan persimpangan. Persimpangan A dan B, Persimpangan ABCDEFG, maupun Persimpangan soal jalan terus atau berhenti dan menyerah (atau mungkin ngga harus menyerah, beristirahat sebentar kan juga bisa). Karena pada dasarnya, nyatanya hidup ini memang isinya soal memilih dan membuat keputusan. Bahkan sesepele untuk melanjutkan bernafas atau menahan nafas sampai tidak sanggup lagi menahan nafas. Sesepele berkedip, yang gerakan reflek, sebenarnya kita punya loh pilihan untuk melotot sampai mata terasa kering. Pernah kepikiran?
Tapi, di dunia yang semuanya serba template dan seragam ini, banyak pilihan yang terasa seperti spontanitas. Seolah pilihan-pilihan itu punya jawaban mutlak yang nggak perlu dipertimbangkan lagi. Seolah pilihan-pilihan itu punya keputusan bulat yang menutupi mata kita kalau kita tuh sebenarnya punya pilihan. Seolah pilihan ada batasannya.
Sama kaya pilihan, kita harus punya anak untuk meneruskan keturunan. Masa? Kenapa? Buat apa? Emang kalau kita aja deh yang ngga mau punya anak, manusia akan punah? Tapi kalo manusia akhirnya punah karena itu, bukannya berarti itu kehendak Tuhan (Buat yang percaya Tuhan)? Pernah ngga, terpikirkan kalau orang-orang yang memilih untuk mengakhiri keturunannya di dia aja itu karena insting evolusi manusia, yang sama kaya makhluk hidup normal lainnya, ngga akan meneruskan keturunan di 'situasi yang dirasa tidak aman'? Pernah ngga baca kalau binatang bakal nahan reproduksi ketika insting mereka tahu akan terjadi bencana? Tapi ada juga binatang yang ketika eksistensi mereka nyaris punah, langsung punya banyak anak kembar? Terus kenapa Burung Dodo punah ya? Karena diburu. Terus kenapa dia ngga reproduksi masal aja?
Jawaban agamisnya karena Tuhan tidak menghendaki mereka tetap eksis di dunia ini dan setuju mereka punah. Jawaban ilmiahnya antara karena jumlah populasi tidak sebanding dengan frekuensi perburuan, atau jawaban putus asanya, nggak ada gunanya mereka reproduksi masal untuk tetap eksis karena ujungnya eksistensi mereka cuma akan dimanfaatkan sama makhluk-makhluk lain yang ... predatornya mereka lah intinya.
Ini kenapa jadi ngomongin Burung Dodo ...
Di Yunani (atau Romawi ya?), mereka punya Dewa Persimpangan atau Dewa Pilihan. Janus namanya. Sosoknya laki-laki bermuka dua yang keduanya akan bicara bersamaan mencecar targetnya tentang pilihan-pilihan yang harus mereka buat. A atau B? Atau C? Bagaimana dengan D? Mereka yang ngga bisa membuat keputusan bakal jadi gila karena kepusingan mendengarkan persimpangan-persimpangan yang ditawarkan Janus. Lalu Janus akan bahagia dan ketawa kegirangan seperti Rumplestitskin waktu dia mengira Si Ratu nggak akan pernah tahu namanya.
Mengerikan.
Sekarang pertanyaannya, memangnya gimana supaya kita nggak jadi gila sama pilihan-pilihan yang ditawarkan Janus? Gimana caranya membuat keputusan yang paling aman, tepat, dan menyelamatkan? Gimana caranya supaya kita bisa bikin keputusan yang pada akhirnya ... nggak akan ... kita sesali?
Sesali? Kenapa sesal?
Iyakan?
Apa hal terburuk, hukuman terburuk di dunia ini selain penyesalan?
Apa tujuan balas dendam? Penyesalan. Apa tujuan hukuman? Rasa menyesal. Apa tujuan harapan akan karma? Penyesalan. Rasain, Lu!
Dan nyatanya, memang hal terburuk yang mungkin kita dapatkan dari membuat keputusan yang salah adalah rasa sesal. Penyesalan. A "Waduh! Harusnya aku ..." "Seandainya aku ..." yang selalu berdiri di ujung. Kita bukan takut gagal. Kita takut menyesal. Kalau gagal, kita bisa bangkit lagi. Kalau gagal, lalu menyesal ...?
Ketika menyesal, kita harus mengakui kita telah melakukan kesalahan. Dan manusia biasa jelas bukan ahlinya mengakui setiap kesalahan yang ia perbuat. Kalau bisa, maunya benar terus dan dapat pembenaran terus.
Sayangnya, banyak dari kita yang masih terlalu fokus pada 'Benar' 'Salah' dalam pembuatan keputusan.
"Salah ngga ya aku putuskan untuk ...?" "Bismillah, semoga ini keputusan yang benar."
Pertanyaanku, memangnya iya, dalam membuat keputusan, semuanya soal benar-salah?
Bukannya dengan fokus pada 'benar' dan 'salah' justru membuat pembuatan keputusan itu terasa kaya ... gambling? Taruhan?
Benar ngga ya di balik kartu itu ada pokernya ...?
Ketika pembuatan keputusan disetarakan dengan judi poker, maka hasilnya juga tidak akan pasti. Tapi apakah membuat keputusan semuanya harus calculated?
Yes and No.
Yes and No yang ujungnya adalah tergantung. Tergantung, yes apa dan no apa yang kamu targetkan. Tujuan dari kalkulasi dan perhitungan kamu itu apa?
Semakin dipikirin, semakin sadar kalau inti dari membuat keputusan adalah penerimaan dan kemampuan dalam menjawab pertanyaan internal diri, "Apakah aku akan menyesali keputusan ini?" Karena inti dari membuat keputusan bukan soal benar-salah, tapi soal, "Apakah aku siap menanggung segala resiko yang akan ditimbulkan dari membuat keputusan ini?"
Karena, dalam membuat keputusan kita ngga bisa cuma fokus sama pros-nya aja. Akan selalu ada cons-nya. Tinggal, kamu siap nggak sama cons-nya?
Kamu siap nggak digunjingin kalau memutuskan untuk nikah tua?
Kamu siap nggak dikira ngepet karena memutuskan kerja remote?
Kamu siap ngga menanggung resiko di-guilotine kalau-kalau apesnya di masa jabatanmu, kamu gagal telak kaya Louis XVI dan Marie Antoinette dalam memimpin sebuah negara?
Kamu siap nggak dicela ...?
Kamu siap nggak dengan perasaan minder, malu, takut yang mungkin sekarang belum bisa kamu perkirakan, tapi potensinya ada kalau kamu memutuskan ...?
Siap nggak kamu masuk neraka kalau kamu gagal total dalam mendidik anak?
Banyak dari kita sibuk mikirin soal benar dan salah, mikirin tentang pendapat orang lain, standar moral sosial, dan lain-lain-nya saat memutuskan sesuatu. Padahal? Yang menjalani kan kita sendiri. Orang lain cuma menengok, lihat bentar, "Oh dia bisa, gimana caranya sih?" "Oh dia bisa? Semoga gagal!" atau "Oh, gagal" lalu melanjutkan hidup. Pertanyaan dalam membuat keputusan seringkali malah ditujukan ke orang lain, referensi eksternal, padahal harusnya kita tanya ke yang menjalani. Diri sendiri. Manusia yang paling tau, yang akan menjalani, dan menanggung resikonya. Tapi, kita malah sibuk sama jawaban luar.
Tapikan nggak salah nanya ke orang lain.
Memang nggak salah. Tapi banyak banget dari kita yang nanya ke luar, bukannya menjadikan pendapat eksternal itu sebagai pertimbangan, tapi justru menelannya bulat-bulat. Bukannya mikir, memarinasi, memproses pendapat-pendapat dan pandangan yang berbeda itu, malah ditelan bulat-bulat, lalu terkejut ketika hasilnya membuat kita sakit perut.
Ini majas. Aku percaya yang baca blog-ku tau mana yang harus dimaknai secara konotatif dan denotatif.
Banyak juga dari kita yang terlalu pengecut untuk membuat keputusan sendiri makanya lebih suka menelan bulat-bulat keputusan yang dikasih orang lain. Supaya kalau hasil akhir keputusannya salah, dia ngga perlu menyalahkan diri sendiri. Supaya kalau hasi akhir keputusannya salah, dia bisa nunjuk ke orang lain dan bilang, "Kata dia ..."
Manusia yang berakal, akal dan otak diciptakan untuk apa? Dipakai.
Bayangin, seandainya seorang Presiden, tanya ke diri sendiri dulu sebelum nyalon jadi Presiden, "Aku jadi Presiden biar apa ya? Buat apa ya? Apa yang harusnya aku lakukan sebagai Presiden, apa yang bisa aku lakukan sebagai Presiden?" Seandainya pertanyaan itu dijawab dulu oleh hati nurani bukannya, "Aku jadi presiden karena aku mau berkuasa dan aku pengen berkuasa karena itu keren!" (Hopefully ngga ada yang jadi presiden dengan pertimbangan sedangkal itu).