Analyzing The Storm [and life]
Saatnya meganalisis cuaca favoritku. Bukan cuacanya secara ilmiah, tapi aku suka cuaca itu.
Cuaca favoritku adalah hujan deras. Kalau bisa bilang tanpa dianggap menantang, sebenarnya: Badai. Hujan. Deras. Lebat. Badai. Berangin. Dingin. Bau hujan.
Tapi untuk tahu kenapa aku suka cuaca itu, sepertinya aku harus mengurai, apa yang aku suka dari cuaca itu.
Well, yang aku bayangkan tentang cuaca badai ini adalah: solitude, sendirian, dingin, kabut, aku sendirian menikmati cokelat hangat atau mi instan pedas. Ngga ada caara terbaik menikmati yang hangat-hangat selain ketika badai kan?
Tapi kalau aku pikir-pikir lagi, yang paling aku nikmati adalah, ya, kesendiriannya. Bisa sendiri, tenang. Hanya ada aku dan pikiranku, bau hujan; petrichor, kabut, sepi. Rasanya aku mendapatkan semua yang aku inginkan: Sendirian. Sesendirian itu dan cuma diramaikan oleh bau hujan, angin, kabut, dan yang hangat-hangat. Lebih ke less stimulus sih. Mungkin itu yang aku butuhin. Perasaan dimana aku bisa merasa aman dan solid, untuk diriku sendiri.
Lagian, kalau aku pikir-pikir, selama ini, kalau disuruh mendefinisikan kebahagiaan, aku lebih cenderung mendefinisikan ketenangan dimana aku sendirian dan menikmati momen sendirian, tanpa orang lain. Orang lain hadir sebagai selingan aja. Mungkin ngga sih bisa hidup kaya gitu.
Aku bercita-cita hidup sendirian.
Lalu temanku bilang, "Terus kalo kamu mati dan ngga ada yang tau kamu mati gimana?"
Sialnya, I don't care. Yaudah, membusuk seperti manusia lain pada umumnya yang meninggal tanpa ada yang tau? Menyedihkan, tragis, dan menyenangkan sih memang. Tapi ya kalo memang gitu, gimana? Mati itu titik. Setelah kematian yang katanya tanpa akhir. Tapi kehidupan itu udah pasti lebih dari sebuah titik.