Tembok-Tembok Tinggi Itu
Hello, world
Lala is here!
It's 5.57 am. Udaranya sejuk, anginnya berhembus pelan membawa partikel-partikel samar air yang tadinya turun bersama hujan, dan ayam berkokok. Biasanya jam segini langitnya udah cerah. Tapi mungkin karena hujan tadi pagi, jadi langitnya mendung.
Hidup ini agak menantang belakangan ini. Aku menyadari hal-hal yang harusnya tidak aku abaikan. Aku tau hal-hal itu ada, tapi aku sangkal selama bertahun-tahun, aku berasumsi hal-hal itu udah "lebih baik". Tapi belakangan ini aku sadar kalau "Things never change" ya. Atau mungkin belum. Karena it feels like i live on a cycle. Sebuah siklus tak terlihat yang membuat aku jalan berputar-putar di jalur yang sama. Mungkin ini rotasi pertama, mungkin juga bukan. Yang pasti aku baru sadarnya sekarang.
But I believe in, "Lebih baik sadar daripada ngga sadar sama sekali"
Anyway, lately aku agak mempertanyakan banyak hal. Hal-hal yang dulu aku yakini sebagai pedoman hidup. Hal-hal yang buat aku udah kaya aturan kaku, kaya tembok beton yang memang harusnya tegas. Tapi kayanya tembok beton itu belakangan mulau berubah menjadi jelly. Dia belum sepenuhnya jadi jelly, tapi yang pasti bukan beton lagi. Jadi lebih ... melunak.
Aku ngga tahu apakah aku harus takut atau senang!
Aku takut, karena di mataku, tembok-tembok beton itu dibangun dengan tujuan untuk melindungi aku dari luar. Kalau dia melunak, artinya dia ngga akan sekuat itu lagi untuk melindungi aku, ya kan? Tapi di satu sisi aku juga berpikir, mungkin dia melunak karena sudah waktunya dia melunak. Udah waktunya aku untuk mulai ngintip-ngintip keluar tembok untuk melihat kalau ... mungkin dunia tidak seberbahaya yang aku alami dulu, yang membuat aku membangun tembok keras-keras dan tinggi-tinggi.
Aku baru sadar aku membangun tembokku terlalu tinggi sampe aku tidak bisa melihat kondisi "manusia lain".
I'm 24. I'm new for this world. Live in a messy world. But it's okay, I'll figure it out
Sincerly,
Lala