Tahanan yang Bebas
Terkadang, aku merasa yakin sepertinya aku akan terus menulis hal yang sama berulang kali. Bukan karena aku tak punya hal lain yang bisa ku tulis, tapi, satu hal ini semacam hasrat yang berulang. Bahwa aku selalu ingin lari. Aku terus memiliki perasaan untuk lari. Kadang aku merasa aku ingin lari, kadang aku merasa aku harus lari. Tidak tahu apa yang mengejarku, tapi sepertinya aku tahu. Aku hanya terus menyangkalnya.
Di bayanganku, siluet diriku berlari menembus batang-batang pohon tinggi yang gelap karena cahaya yang lebih terang berasal dari balik pepohonan itu, di belakangku. Aku biasanya takut gelap, tapi kali ini aku sepertinya tidak peduli bahwa aku tengah berlari menyongsong kegelapan. Setakut-takutnya aku pada kegelapan dan dengan segala ketidak pastiannya, aku lebih takut dengan apa yang membuatku menjadi seberani ini. Sesuatu yang pasti. Pasti dan sudah pasti, benar-benar buruk. Sesuatu yang akan mengekangku selamanya jika aku sampai tertangkap. Itulah mengapa, meskipun tungkaiku mulai terasa seperti jeli dan paru-paruku terasa seperti air, aku tetap berlari. Meski keringat merembes dari pori-pori kulitku, basah, membuat segalanya jadi lebih licin dan sulit terkendali, aku tetap berlari.
Pikiran bahwa aku bisa lari dari sesuatu itu, membuat perasaanku lebih baik. Semacam perasaan lega yang menjalar ke sisi-sisi bahuku yang tegang. Tapi berkat pikiran berulang itu, aku tahu, aku memiliki hasrat untuk bertahan. Aku tidak pernah benar-benar ingin menyerah. Aku selalu berjuang dan bertahan. Meski tali melukai kulit di pergelanganku dan pergelangan kakiku, meski pecahan kaca menusuk semakin dalam ke daging di telapak kakiku setiap kali aku mendaratkan kaki ke tanah, meskipun pandanganku mengabur di dalam gelap, aku tahu. Aku tahu aku tidak mudah menyerah. Aku punya tekad yang layak diperjuangkan. Namun, aku juga tahu. Saat angin berhembus dan satu lagi lilin yang padam, maka itu akan menjadi akhir segalanya bagiku.
Bagiku, kematian lebih baik daripada ketidakbebasan.