Membicarakan Diri Sendiri #3: Kepala Penuh
Actually, judul "Membicarakan Diri Sendiri" ini aku tulis sebagai apa ya ... sebagai sarana dan wadah buat aku untuk melakukan refleksi diri. Sebenernya this whole blog existence ada untuk membantu aku mengenal diri sendiri dan mengurai isi kepalaku yang banyak dan amburadul sih memang, dari awal. Tapi aku agak menyadari this, "Membicarakan Diri Sendiri" ini dikhususkan secara spesifik, buat platform aku mencatat hal-hal yang aku sadari tentang diriku sendiri.
Oke. Jadi kenapa aku nulis paragraf di atas itu? Karena, muncul di kepalaku so, aku butuh untuk menuliskan itu. Here we go!
Aku habis baca bukunya Jostein Gaarder, "Princess of Tales". Baru baca satu bab sih. Dan sebenarnya juga itu buku yang udah aku baca sejak 2021, cuma aku emm, saat itu aku kurang mindful aja. Momen dimana sepuluh kalipun aku baca satu halaman, kata-katanya kaya membal, mental, dan memantul di jidatku. Cuma diproses di mata aja tapi tidak terproses di otak. Jadi di 2025 ini, aku memutuskan untuk membaca ulang. To practicing mindfulness and to train my attention span. Melatih disiplin juga karena aku jadwalin baca buku "Bahasa Indonesia" 10 menit setiap harinya. Melatih kemampuan berbahasaku juga, yang sudah mengalami kemunduran akibat kebanyakan main sosmed dan kurang membaca. Terus sebacaku dulu, membaca itu melatih otak juga dan membantu otak ibaratnya kaya "senam" biar lentur dan ngga kaku. Majas. Intinya gitu, kalo ngga ngerti ya, sabar ya.
Tapi di chapter pertama buku ini, aku merasa Jostein sedang menuliskan soal aku. Padahal tulisannya tentang karakter utama di buku dia. Tentang orang yang selalu mikir, tidak bisa berhenti berpikir, dan tidak mau berhenti berpikir. Isi kepalanya selalu penuh dan berantakan. Penuh ide yang meletup-letup. Saking penuh dan banyaknya, moving ideas nya juga jadi cepet. Bahasanya kaya, turnover ide-nya jadi cepet. Jadinya cepet lupa juga. I can relate. Setelah membaca itu aku merasa normal. Merasa dimengerti dan mendapat validasi. Soalnya ya, berarti aku tidak sendiri. Walaupun yang mengalami itu karakternya Jostein tapi setidaknya berarti im not the only one yang merasa kaya gitu. Aku sangat normal. Kalo karakter Jostein ngalamin itu, mungkin Jostein mengerti. Kalo Jostein mengerti, berarti aku tidak sendiri (walaupun aku tau aku tidak mungkin sendirian mengalami itu di dunia berisikan 7 miliar manusia).
Dengan banyaknya pikiran di kepalaku, rasanya aku terbiasa dengan "penuh" pikiran, yang mana membuat aku merasa janggal kalo aku "tidak berpikir". Isi kepalaku bener-bener bisa banyak banget. Bisa ide-ide, bisa hal-hal yang tercetus tiba-tiba mau aku lakukan, hal-hal yang harus aku lakukan, strategi melakukan A dan urutan melakukan B, bahasa, pikiran menyakitkan, menghibur, penting, dan tidak penting. Semuanya ada. Kepalaku adalah kamar kebutuhan di Hogwarts. Semuanya ada. Sepenuh itu, memang. Makanya ketika aku merasa "senggang" di kepalaku, itu rasanya aneh banget. Jadinya aku mulai mencari hal-hal lain untuk dipikirkan. Dengan banyak nya pikiran, aku rasanya jadi manusia auto pilot.
Jadi manusia auto pilot kayanya bukan hal yang bagus sih, karena imo, jadi manusia harusnya mindful. Sadar. Tapi ya gimana ya ... aku ngga akan membela diri dengan "memang gini" thingy. Lebih ke, im trying to be mindful kok dengan berusaha memanajemen pikiranku.
Lagi pula di kepalaku ini rasanya aku punya sistem otomatis yang bisa mengklasifikasikan pikiran penting dan ngga penting. Yang deserve untuk diprioritaskan dan yang "ngantri dulu". Im cool. Aku punya sistem manajemen diri internal otomatis yang ngga semua orang punya. Misalnya aja, aku patah hati tapi ada tugas yang harus diselesaikan. Kalo aku memprioritaskan nangis, aku akan lebih cepat mengantuk dan tugasnya ngga akan terselesaikan. Hasilnya, aku bisa memaksa diri untuk fokus sama tugas dulu. Tapi aku juga punya batasan sama diriku sendiri. Aku manusia yang tau kapasitas diriku. Ketika emang emosi itu terlalu membludak dan memang perlu disalurkan dulu, aku bisa memanajemen diri untuk, misal menyalurkan sebagian, lanjut tugas, nangis lagi kaya, 2 minggu kemudian. Aku bisa. Jadi sebenernya pikiran banyak ini bukan masalah yang too much sih. Jadi masalahnya di bagian aku jadi cepet lupa aja.
Pikiran ku itu rasanya kaya file penyimpanan unlimited yang memilih untuk menyerap dan menyimpan semua yang terlintas. File penyimpanan yang serakah. Sialnya, jadinya amburadul. Banyak ingatan yang keselip. Untungnya, keselip bukan masalah selama ada triggernya. Trigger di kepalaku fungsinya setara sama search engine (Ctrl+F). Jadi aman aja. Pancing, dan aku akan ingat. Sialnya ya kalo aku bahkan tidak ingat trigger apa yang harus aku munculkan. Tapi aku percaya kok, kalo memang setidak bisa diingat itu, mungkin memang sebaiknya tidak ingat. Aku percaya sama yang namanya God's will. Kalau Allah menghendaki aku ingat, selupa-lupanya aku, aku pasti akan ingat. Dengan cara apappun. Kalo aku lupa dan udah berusaha mengingat tapi nggak ingat juga, mungkin itu cara Allah menjaga aku. Itu kehendak Allah. Berarti memang nggak sepenting itu untuk diingat.
Apalagi ya? Itu dulu kayanya. Masih banyak yang mau aku kerjakan.