"Aku Cantik"
Pernah nggak sih merasa jelek? Karena aku sering. Aku pernah merasa kaya, "Ya ampun bentuk mukaku jelek banget?" "Yaampun warna kulitku ngga rata! Jelek!" "Jerawatku bikin mukaku makin jelek deh" terus "Coba kalo mukaku lebih gini atau lebih gitu". Malah kadang, "Aku merasa mukaku jelek tapi apa ya yang bikin jelek?"
Pertanyaan yang terakhir itu kadang menggiring pada perasaan minder kebangetan yang bikin aku makin merasa desperate karena ngga ada yang bisa aku lakukan gitu loh (pada saat itu). Aku ngga paham skincare bahkan aku ngga bisa melakukan usaha terminimal buat memperbaiki diri. Karena apa? Karena aku bahkan ngga tau masalahnya dimana. Biasanya di tengah perasaan putus asa itu, akan muncul perasaan muak pada diri sendiri yang kemudian bikin aku (atau kita) males lihat bayangan sendiri di kaca. Karena yang dilihat tidak membuat kita senang.
Sampe, di suatu malam yang gelap karena mati listrik, dengan pencahayaan lilin di kamar, aku melihat bayanganku sendiri di kaca, sambil batin, "Kalo jelek berarti muka setan". Dan aku melihat mukaku sendiri di situ. Muka yang aku anggep jelek bentukannya, muka yang warnanya belang-belang - walaupun cuma bercahayakan lilin, aku tau mukaku emang wartanya ngga rata. Muka yang banyak bekas jerawatnya. Terus aku ngatain diriku sendiri, "Tapi mukamu normal, La. Banyak yang anggota organ di wajahnya ngga lengkap. Dasar nggak tahu diri! Nggak bersyukur!" Aku mencela diriku sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir lagi sekarang, ngga ada salahnya menyadari kekurangan diri walaupun tahu ada orang lain yang secara objektif lebih kurang. Ya kan?
Malam itu aku merasa kasihan sama diriku sendiri. Aku, yang punya muka, si pemilik muka, si pengguna muka, nggak suka sama muka yang aku punya, miliki, dan pake sendiri. Kasihan banget mukaku ini. Di situ aku tanya sama diriku sendiri, "Emang yang cantik kaya apa?" "Emang harusnya 'aku' (muka) terlihat seperti apa biar minimal banget nih, si pemilik dan pengguna muka ini merasa cukup sama apa yang dia punya.
Ketika aku tanya sama diriku sendiri, "Emang yang cantik yang kaya apa?" muka pertama yang muncul di kepalaku adalah mukanya Jennie Blackpink. Lalu Rose. Lalu Selena Gomez. Lalu Kendall. Detik itu juga aku sadar. "Pantesan aku merasa jelek. Ternyata yang salah bukan mukaku, tapi standarku". Mereka semua idol, model, selebriti. Ada yang operasi, ada yang botox, ada yang filler, perawatan udah pasti. Terus sekarang, aku membandingkan mukaku, yang dimiliki oleh diri seorang manusia biasa ini, yang ngga perawatan di klinik, ngga operasi, botox, dan filler, bahkan ngga ngerti skincare! Terus aku merasa punya the audacity buat membandingkan dua hal yang tidak sebanding. Ya jelas aja timpang. Yang satunya (mukaku) kalah jauh banget. Karena sejak awal pembandingnya memang tidak pernah setara.
Di situ aku sadar yang salah adalah standarku dan persepsiku. Bukan mukaku. Mukaku mungkin emang ngga sebagus standar kecantikan secara umum, tapi kemudian aku juga menyadari kalau, cantik itu subjektif. "Cantik" itu padanan katanya "indah". Dan "indah" menurut satu orang dengan orang lainnya nggak bisa disamakan. Si A bisa aja menganggap sebuah desain taman bunga sebagai "Indah" tapi si B bisa aja nganggepnya "Nggak banget". Jadi kalau gitu tamannya jelek? Tapikan menurut A bagus? Jadi tamannya bagus apa jelek?
Kesimpulannya bukan "taman itu jelek" atau "taman itu bagus" tapi, kesimpulannya adalah, "Menurut A, desain taman itu bagus, sementara itu, menurut B, desain taman itu jelek". Selesai.
Sama juga kaya, Lili bisa suka warna hijau tapi Lala nggak suka warna hijau. And that's fine. Bukan berarti hijau nya jelek. Sesimpel, masalah selera aja. Selera dan perspektif. Makanya ada istilah, "Bukan pasarnya". Oleh karena itu, aku mau mengajukan petisi untuk menghilangkan kata "jelek"!
Hehe.
Dari pemikiran itu, aku menyadari kalau, sebenernya aku tidak seburuk itu. Bukannya mukaku jelek. Standarku aja yang salah. Udah standarku yang salah, akunya juga ngga mau tau cara ngurus diri. Jadi kesalahannya sepenuhnya di aku dan otakku. Setelah tahu permasalahan ini, aku tau apa yang harus aku lakukan. Apa? Bukan. Bukan merawat diri yang utama. Menerima diri.
Hal ini juga berlaku sama penampilan, selera baju, selera makanan, seni, dan semua hal lain di dunia ini yang sub-jek-tif. Soal selera itu ngga bisa dipukul rata. Kaya yang udah aku jelasin tadi. Dengan pemikiran demikian, terjadi perubahan signifikan dalam otakku. Saat aku men-judge diriku easily, aku sadar aku memproyeksikan itu juga ke orang lain. Aku juga dengan mudahnya ngejudge orang lain. Misal aja kaya lihat orang dengan outfit yang ngga biasa, aku merasa kaya, "Ih aneh" gitu. Tapi setelah pemikiranku direkonstruksi aku udah nggak pernah mikir kaya gitu lagi. Aku udah ngga terlalu menghakimi diriku sendiri, aku ngga menghakimi orang lain, malahan, aku jadi lebih mengapresiasi perbedaan itu. It feel amazing! Easy, light, positive. Dunia terasa lebih ringan dan indah. Matahari bersinar cerah, Pelangi berbentuk parabola di langit biru yang bahagia. Lebah-lebah berterbangan setelah mengambil madu dari bunga, saling mengabari pada kelompoknya. Pokoknya dunia terasa seperti bernapas lega.
Ajaib. It's always amaze me how thoughts affect our perception of everything.
Sejak itu semua, aku mengharamkan diriku sendiri dan orang lain untuk merendahkan diri sendiri. Aku cantik. Kamu cantik. Kita semua cantik. Kalo ada yang bilang jelek artinya mata dia rusak. Kasihanilah dan antarkan dia ke dokter mata. Sekian makasih. Ngga ada yang jelek di dunia ini, yang jelek adalah persepsi kita dalam menilai suatu hal. Sekian. Makasih!!!!