A Journey To Find Something I Might Never Knew
Baru baru ini aku berkontak lagi (by chat) sama salah satu temen SDku. Yang aku ngga sangka-sangka adalah, dia ternyata membawa angin segar buat aku yang lagi sibuk "membangun diri" ini. Di 2022, aku pernah nulis tentang "Me Before vs Me After" yang intinya berisi keresahan aku soal diriku sendiri dimana aku merasa aku adalah orang yang berbeda dengan aku versi dulu.
Well, sebenernya ngga ada salahnya untuk berubah. Namanya juga manusia. Dinamis.
Tapi, letak permasalahannya buat aku ada di 'ambang batas' toleransiku dalam menghadapi banyak hal.
Saat ini pun aku berani bilang kalo masalah yang aku hadapi waktu SD itu berat banget untuk standar orang dewasa (terlebih konfliknya bersifat kontinu), apalagi buat aku versi anak usia 9 tahun? Tapi, aku juga ingat kalo aku lebih resilien dan bisa nge-cover itu dengan cukup baik. Aku ngga bilang selesai ya, karena sampai sekarangpun dampak dari permasalahan itu masih ngikutin aku. it still haunting me. Tapi yang aku sadari belakangan adalah, perbedaan antara aku yang dulu sama aku yang sekarang, dulu aku masih punya energi untuk membuat diriku bertahan, while sekarang i dont even have the energy just to think about it. Apalagi to face it?
Mungkin bisa dibilang kalo, aku kehilangan diriku sendiri waktu itu. Tapi juga kadang aku bertanya-tanya, emang diriku itu siapa? Emangnya aku udah tau atau udah pernah menjadi seorang "diri" waktu itu? Tapi tetep aja. Sebenarnya ini soal persepsi sih, semacam self image.
Aku mempersepsikan diriku yang anak-anak itu sebagai pribadi yang ceria, aktif, percaya diri, dan pokoknya all the good things yang bisa dimilikin oleh seorang 'anak'. Aku tau dari dulu aku berdiri di tanah yang ngga stabil, tanah yang bisa longsor tiba-tiba di waktu yang ngga pernah aku duga. Dan bener aja, disaat aku pikir masih aman untuk loncat-loncat kegirangan di tanah berongga yang aku yakini cukup kuat itu, aku langsung jatuh begitu tanah itu longsor dan membuat diriku sendiri terkubur lalu ... menghilang.
Butuh waktu tahunan dan bergelombang-gelombang air bah buat aku akhirnya sadar akan posisiku yang terkubur - hilang - dan memutuskan buat menggapai permukaan, keluar dari timbunan tanah. Selepas keluar dari timbunan tanah itupun aku udah nggak inget lagi siapa aku. Terlalu kotor untuk mengenal diriku sendiri, terlalu syok untuk mengingat dan menyadari yang baru saja terjadi.
Dan sekarang aku di sini, setelah melalui banyak perjuangan naik-turun terombang-ambing di atas rakit yang aku buat sendiri, menerjang ombak dan badai untuk membersihkan diriku sendiri dari 'tanah' atau memilih untuk 'menemukan tujuan baru'.
Awalnya aku terjebak di pikiran kalau aku harus kembali. Harus kembali ke titik yang persis sama, tempat dimana aku berdiri sebelum tanah labil itu akhirnya longsor, harus kembali bersih seperti sedia kala, harus sama persis seperti sebelumnya. Tapi terus terang, selama bertahun-tahun terjebak dalam satu opsi yang aku pikir tepat ternyata terlalu menyiksa dan frustrating untuk di jalani. Aku jadi menyalahkan ina-ini yang berada di luar kendaliku. Tapi seperti kebanyakan manusia pada umumnya yang baru akan menemukan titik terang, sebuah opsi lain di kala mencapai titik nadzir dalam upaya tak sadarku untuk bertahan. Aku sadar kalo ... mungkin kalau aku nggak bisa kembali, aku bisa try to create something new.
Dan di sinilah aku sekarang.
Actually, aku juga ngga benar-benar yakin apakah emang aku harus menciptakan diri yang baru atau tetap berusaha jadi versi diriku yang 'dulu' yang aku anggep sebagai diriku yang 'sebenernya'. Tapi di satu sisi, insting serakah dan antisipasiku berpikiran, "gimana kalo kamu jadi versi diri yang kamu anggep ideal aja? ada sebagian yang versi diri kamu yang dulu, tapi dengan beberapa upgrade setelah melalui pendewasaan, hmm?" Dan aku pikir itu ada benarnya juga.
Nah baru-baru ini, kaya yang aku udah bilang, aku berkontak lagi sama temen SDku. Seorang temen SD yang punya persepsi murni tentang diri aku waktu SD, diri aku yang berdiri di atas tanah labil dulu itu. Seseorang yang cuma kenal versi diri aku yang itu, orang yang ngga tau apa-apa tentang segala konflik, dinamika, dan sisi diriku yang amburadul. Makanya aku bilang kehadiran dia kaya angin segar, karena dia mengingatkan aku tentang beberapa sisi diriku yang aku ngga ingat kalo aku pernah punya, plus dia ngasih validasi akan memori samar yang aku punya tentang diri aku yang dulu.
Aku sadar sih, semua ini adalah bagian dari proses. Dan aku membangun pikiran kalo, "mungkin ini adalah titik dimana aku bisa istirahat sebentar, refreshing, mengenang diri yang lalu, dan mengevaluasi soal versi ideal diri baru yang mau aku bentuk."
Aku sadar hidup ini mungkin bukan soal jadi apa dalam hal karir atau harus mencapai apa. Buat sebagian orang (termasuk aku) hidup ini adalah petualangan eksistensi. Petualangan seumur hidup untuk menemukan sesuatu yang menjawab segala pertanyaan tentang eksistensi diri. Si petualang tahu kalau dia belum tentu akan menemukan jawaban besarnya meski sudah berpetualang sampai jasadnya membusuk. Tapi si petualang tahu kalau dia akan menemukan sesuatu dalam prosesnya yang akan membantu dia, setidaknya, untuk memahami makna eksistensinya.
-5 Mei 2024-