Kisah tentang Aku dan Kuliah

Sebenarnya aku mau ngasih judul, "The Ballad of ..." tapi aku mencari arti Ballad dan yang keluar gini:

ballads (plural noun)
  1. a poem or song narrating a story in short stanzas. Traditional ballads are typically of unknown authorship, having been passed on orally from one generation to the next.

Jadi akhirnya aku memilih untu make judul yang sekarang aku pake deh.

Oke jadi alkisah pada zaman dahulu kala di tahun 2019, aku adalah seorang remaja SMA yang udah fucked up sama semuanya. Hidup, ujian-ujian (ujian semester, ujian sekolah, ujian nasional, SBMPTN, try out, tes skolastik, dll), belajar, template tahap kehidupan, dan lain-lainnya. Aku menghadapkan semua itu dengan pertanyaan eksistensial, "buat apa?" "biar apa?" "ngapain?" Sampe kemudian akhirnya aku memutuskan kalo, "Aku akan gap year". Aku pengen gap year bukan tanpa alasan juga. Aku pengen gap year karena aku merasa butuh waktu untuk memikirkan semuanya dengan matang. Soal apa yang aku mau, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menggerecoki kepalaku, renungan-renungan, termasuk juga soal diri sendiri. Waktu itu aku belum sadar tapi seiring waktu berjalan aku menyadari kalo aku ini manusia yang bergerak berdasarkan tujuan. Kalo aku tau tujuannya, aku jalan. Aku bukan manusia yang mau berjalan serampangan asal jalan dan berandai-andai akan menemukan sesuatu. Walaupun Lewis Carol (Penulisnya Alice in Wonderland) yang notabene adalah salah satu dari manusia terfavoritku bilang kalo, "kemanapun kita pergi, walaupun kita pergi tanpa tujuan, dalam prosesnya kita akhirnya menemukan sesuatu yang kita cari", aku tetep merasa kurang relevan. Kaya, somehow aku ngga relate aja. Atau mungkin belum. Karena hidup inikan panjang ya, kadang kita baru nemuin jawaban dari beberapa pertanyaan di sekian waktu yang nggak pernah kita duga. Tapi, kita akan tahu itu jawaban ketika kita punya pertanyaan. Walaupun aku juga mengakui kadang kita bisa menyimpulkan sesuatu tanpa harus ada pertanyaan.

Yaudah intinya gitu.
Intinya aku butuh waktu buat untuk memikirkan semuanya dan aku pengen gap year. Tapi tentu saja mama sama papa nggak boleh.
Oh gini. Jadi dari aku SD itu aku sangat ingin masuk Undip. Pilihannya cuma Undip atau tidak sama sekali, atau univ yang lain yang jurusannya ngga ada di Undip: UNS). Nah tapi bertepatan dengan momen waktu itu aku pengen gap year karena alasan yang aku jelasin itu tadi kan. Jadi aku tetep ikut UTBK buat SBMPTN tapi aku nggak belajar. Sedekah aja ke negara. Karena waktu itu dengan sangat tidak bertanggung jawab aku mikirnya gini, "Aku maunya masuk undip tanpa berusaha soalnya aku udah bosen belajar dan ikut ujian." 

Jujur aku ga berharap lolos utbk/sbm sih. Karena 70% yang mendominasi kepalaku adalah gap year. Oh iya, satu lagi, kebetulan aku bukan manusia yang terlalu peduli sama template hidup orang lain ya. Bukannya sok edgy dan sok unik tapi emang sebagian besar temenku ketika denger ceritaku ini juga bilang kalo, "Aneh ya, kebanyakan orang tu pengennya kuliah kamu malah pengen gap year." Ya jawabannya, karena aku memilih untuk mempertanyakan template tahapan kehidupan dan karena aku belum nemu jawabannya, aku milih untuk berdiri di tempat dan tidak mengikuti arus. Gitu.

Waktu itu yang ada di pikiranku, kalo aku lolos undip alhamdulillah, kalo ngga yaudah, berarti aku ditakdirkan untuk gap year yang mana memang itulah yang saya inginkan. Dan bener aja, hasil tidak pernah menkhianati usaha karena saya tidak lolos SBMPTN dengan skor UTBK yang bobrok. Aku lupa sih skor UTBK ku berapa. Aku cuma inget skor skolastikku tinggi tapi akademikku jelek. Aku sadar kok tapi aku emang tidak smart. Aku tahu diri kalo soal yang ini.

Aku ngga lolos dan aku tidak sedih. Aku biasa aja walaupun selama sebentar aku ngerasa hampa juga. Ini sejenis hampa yang sama yang aku rasain waktu kelas 9, dari sibuk belajar tiap hari buat UN tiba tiba suwung setelah rentetan ujian nasional kelar. Ini sejenis hampa karena tidak ada tujuan tapi juga sebenernya aku ngga hampa sedih depresi gitu. Hampa sedikit. Soalnya kan aku punya plan buat mengisi gap yearku kan.

Oh tapi tidak begitu dengan orang tuaku. Mama sibuk bujuk-bujuk aku buat kuliah di universitas swasta. Waktu itu Mama nyuruh di Unimus atatu Unisula. Aku nggak mau. Bukan karena aku memandang rendah univ swasta atau apa, tapi ya emang dari awal aku tu maunya Gapyear atau undip. Dan karena Undip tidak mau sama aku tanpa aku berusaha, yaudah aku gap year aja.

Aku keukeuh tetep maunya gap year dan ngga mau daftar-daftar bahkan ketika UM Undip diperpanjang masa pendaftarannya. Tapi semuanya berubah. Kenapa? Ada beberapa alasan.

Iya akhirnya aku daftar buat UM Undip karena alasan kedua, aku patah hati jadinya aku gabut dan sedih dan aku butuh pengalih perhatian selain nyanyi Tamia-Officially Missing You dan nggerecokin Anyak, Kharis, Handis, Imam, dan Anggi.
Tapi alasan utamanya adalah karena suatu malam di tengah hari-hari patah hatiku, aku ngeliat dua rok hitam yang udah dijahitin Mama (yang ngga isa jahit - sumpah roknya miring sana-sini) tersampir di sandaran kursi jahitnya Mama terus aku kek, "kasian ya Mama kalo udah semangat bikinin aku rok buat kuliah tapi malah ngga kepake". Terus besokannya waktu Mama nyuruh aku daftar UM (lagi) akhirnya aku iyain. Jadi sebenernya yang membuat aku kuliah itu rok.

Iya jadi gitu guys cerita asal usul aku kuliah. Tapi kalo asal usul aku masuk Psikologi, well, aku belum pengen nulis sih.

30 April 2024

Postingan populer dari blog ini

My Twilight Girlie Era Is Back!

Synesthesia Experience : Grapheme Synesthesia

the best micellar water so far!