Lari ... Lari ... Lari sampai ke Perspektif tentang "Baik"
Aku akan melabel diriku sendiri sebagai atlet lari dari segalanya.
Sebenernya aku ngga jago lari. Tapi nyatanya mentally aku selalu kabur. Aku ngga suka sama orang? Aku lari. Orang bikin aku takut? Aku lari. Orang bikin aku ngga nyaman? Aku lari. Orang showering me with affection -> membuat aku bingung dan ga nyaman bcs itu rasanya strange buat aku, aku lari. Pokoknya aku adalah Si Tukang Kabur.
Mamaku pernah bilang kalo, "Kamu tu mesti gitu. Nggak suka dikit, langsung nggak mau. kabur. Tinggal. Lari. Ya nggak bisa gitu, ngga semua hal bisa ditinggal kabur. Kadang harus kamu hadapin."
Waktu Mama awal awal bilang gitu, logikaku be like, "Ya namanya bikin ga nyaman bukannya emang harusnya ditinggal? Ngga nyaman kan sign kalo bisa aja its not good for us? Kenapa harus bertahan? Kenapa harus menoleransi hal hal yang bikin kita ngrasa ngga nyaman? Beberapa hal emang ngga bisa dipaksain.
Toleransiku terhadap minimnya penghargaan terhadap batasan setipis tisu dibagi tujuh. Emang.
Kamu bikin aku kesel, seklai mungkin oke. Aku bakal langsung bilang kalo, "Hei aku ga suka ya. Ini batasanku ya." Kalo diulang, well no second chance. Cut off. Aku ngga suka mengulang. Walaupun kadang aku juga bodoh.
Tapi di satu sisi juga aku sadar kalo, behaviorku yang kaya gitu caused by past experience. Dulu aku anak baik kok. Aku berani sumpah. Tokoh panutanku adalah Leung Li, Bawang Putih, dan Cinderella. Mereka anak baik kan? Dan pasrah. Mereka dianiaya kek mana bentuk sama saudara tirinya pun pasrah. Karena mereka baik. Itu yang diajarin sama kita. Anak baik kalo dijahatin ngga bales. Karena baik. Orang baik akan dapet surga. Orang baik disayang Tuhan. Orang baik nanti akan dapet labu isi emas. Orang baik akan dapet pohon berdaun emas, orang baik akan dapet pangeran tampan. Itu yang diajarin ke kita. Orang baik bakal berakhir bahagia. Gitukan?
Sayangnya, kita ngga diingetin kalo, itu cuma dongeng.
Dongeng itu kan cerpen. Well, ada yang novel sih. Tapi sepanjang-panjangnya sebuah cerita itukan tetep aja cuma secuplik, sebagian kehidupan ya kan?
Nyatanya kehidupan nyata lebih kompleks dari sekedar "Si Baik akan dapat balasan yang baik juga".
Ada suatu waktu dimana aku lagi meyakinkan diriku sendiri kalo, "Nggak papa, sabar, kamu anak baik, kamu bakal masuk surga. Nggak papa, liat aja Cinderella aja dapet pangeran."
Lalu angin berhembus dan membisikkan, "Emang di duniamu ada pangeran? Emang di duniamu ada kemungkinan kamu punya sepatu kaca dari ibu peri? Emang ada kemungkinan pangeran bakal nyari si pemilik sepatu kaca?" Karena kenyataannya sambil meyakinkan diri, "Kalo kita baik, kita bakal dapet akhir bahagia", aku juga menjerit dalam hati, "AKU PENGEN MATI AJA BOLEH GA SIHHHHHH?!"
Terus bagaikan dihantam buroq, aku, sadar dan nangis. Hidupku bukan bagian dari sebuah dongeng.
Seiring aku besar dan menyadari kesalahan-kesalahanku karena memilih untuk bersabar dan percaya kalo "Orang baik akan berakhir bahagia. Kamu abkal ketemu pangeran, punya pohon emas, dan labu isi emas." NGGAK. NGGAAAAKKK. Adanya sebelum kamu ketemu pangeran, kemungkinan kamu udah mati bunuh diri duluan. Kalo emang semua kebaikan akan berujung indah, mungkin Ari Hanggara udah jadi pengusaha sukses sekarang. Nyatanya? DIa meninggal. Ya walaupun mungkin sekarang dia happy di surga. Tapi coba kalo dia hidup? Antara dia akan mencontoh Papinya yang villain dan evil atau dia bakal trauma berat seumur hidup.
Cinderella, Bawang Putih, Leung Li, dan semua karakter baik di dongeng itu bukan baik. Mereka lack of self preservation. Mereka ngga punya hasrat untuk melindungi dan mempertahankan dirinya dan hak hak hidupnya. Padahal Self Preservation ini bisa dibilang sebagai skill bertahan hidup. Kamu ngga bisa menjaga diri dan setting boundaries? Yaudah, siap siap aja diinjak-injak sama orang-orang yang purely evil.
Aku ngga tau ya. Ini bakal panjang. Sebenernya baik itu apa sih? Definisi baik secara terminologi yang berkembang di masyarakat itu, kayanya, baik adalah ketika kamu buaik buanget, rela mengorbankan diri buat orang lain, kamu membantu blablalblablablabalba. Aku benci definisi itu.
Guru SD ku, Bu Tanti, dulu waktu pelajaran Bahasa Indonesia kelas 5 materi yang berhubungan sama cerpen dll, Ibunya nanya, "Di cerita ini, siapa Protagonisnya?" Terus - aku lupa cerita apa, tapi anggaplah Maling Kundang. Eh aku inget ini cerita Si Puti kupu-kupu pucet yang dibuli (kalo ga salah. Yaudah si anggep aja contoh) - Anak-anak jawab, "Si Puti". Bener, nggak salah. Terus ibunya nanya lagi, "Kenapa Si Puti protagonis nya?" terus semuanya diem. Kita tau by intuition aja. Ceritanya menceritakan tentang si Puti. Makanya dia protagonisnya (tokoh utamanya). Terus temenku, Syifa, ditanya, "kenapa jawab Puti?" terus si Syifa ini bilang, "Soalnya Puti baik" (wajar dia jawab gitu ya karena emang biasanya tokoh utama jadi orang baik). Terus Bu Tanti nanya, "Baiknya apa sih si Puti?" terus sekelas jawablah, "Walaupun dia diejekin tapi tetep bantu yang ngejekin, nyenyenye" gitu. Terus pertanyaanya berkembang jadi, "Baik itu yang kaya gimana sih?"
"Yang kaya Si Puti?"
"Kenapa Puti baik?"
"Karena dia membantu"
"Jadi membantu itu baik?"
"Iya"
"Kalo Ezar membantu Robby merampok rumahnya Syifa, baik nggak itu?"
(diem ....) "Katanya kalo membantu berarti baik?"
"Kalo membantu menolong baik, kalo membantu mencuri jahat"
"Membantu sama menolong memangnya beda?"
"Kalo membantu buat kejahatan, jahat. Tapi kalo membantu buat kebaikan baik."
"Oh gitu? Kalo membantu dalam kejahatan namanya jahat, salah. Kalo membantu dalam kebaikan, baik, gitukan? Tapikan kalo Ezar membantu Robby mencuri, buat Robby Ezar baik, kan dia membantu. Tapi buat Syifa yang punya rumah, Ezar jahat. Jadi gimana dong?"
Pertanyaan itu akhirnya jadi PR buat kami pikirin, karena nggak ketemu kunci jawabannya. Aku nggak tau gimana temen-temen yang lain. Tapi aku sih mikir beneran (aku bener-bener mikirin jawaban dari pertanyaan itu menahun guys ... seolah aku berusaha memecahkan riddle). Tapi dari pertanyaan ini aku sadar dan belajar kalo it's all about perspective. Baik, itu subjektif.
Dari pemahaman itu, aku mengembangkan paham dan konsep di kepalaku.
Kalo aku mengorbankan diriku buat orang lain, misal A. A akan menganggap aku baik. Mungkin sedunia akan bilang aku baik. TAPI, giamna kalo ternyata pengorbananku itu lebih banyak merugikan diriku sendiri? Gimana kalo gitu? Apakah aku akan tetep baik? Mungkin iya buat si A. Tapi buat diriku sendiri? Apakah aku baik? Sebenernya ini balik ke masing-masing orang sih. Tapi aku pribadi menilai kalo orang yang baik buat orang lain tapi jahat ke dirinya sendiri, itu munafik. Kenapa kamu bisa baik sama orang lain, tapi kenapa kamu tega jahat sama dirimu sendiri?
Tapi btw, ini balik ke masing-masing orang ya. Intinya sih batasannya emang tipis banget. Aku juga ngga serta merta nganggep orang yang baik dan mengorbankan diri sendiri sebagai orang yang munafik kok. Aku taro batasannya di keikhlasan. Kalo orang yang ikhlas dan emang dia pure pengen berbuat baik, meskipun merugikan dirinya dan dia fine aja dengan resiko itu, aku anggap dia baik. Tapi kan ngga jarang ada orang gaenakan yang terpaksa. Karena dia ngga bisa nolak lah, takut dimusuhin lah, apalah. Dia membantu (baik) dengan mengorbankan dirinya sendiri, lalu ntah mengeluh, entah minta atau berharap akan ada timbal balik. Kaya ... apasih? Munafik kau. Kalo emang ga mau ya bilang lah. Dikira orang bisa baca pikiran dan hatimu yang gaenakan itu? Nggak. Nggak semua orang di dunia ini adalah Edward Cullen yang bisa baca pikiran.
Tukan panjang beneran.
Tapi intinya gitu. Ini kayanya makin-makin agak oot ya karena sebelumnya kita bahas lari. Ya, lari-bounderies-baik.
Oke.
Intinya adalah, aku mudah menghindar dan easily cut off orang adalah karena aku setting boundaries. Kaya, ya mungkin batasan ku tidak senormal manusia-manusia normal pada umumnya karena aku pun merasa kalo, tembok batasanku ini lebih tebel dari benteng apapun yang ada di film dan cerita-cerita perang yang pernah ada.
Dan tebelnya bentang tembok batasan ini adalah karena aku pernah terlalu baik sampe akhirnya aku diujung tombak kebaikan dan sadar kalo aku terlalu baik, rupanya manusia manusia ini memanfaatkan aku.
Abuse,
Kalian tau ngga sih, kalo abuse - kekerasan - itu ngga cuma berbentuk fisik dan seksual? Tapi ada juga yang mungkin jarang kepikiran sama orang orang, manipulasi. Well sebenernya, tujuan dari kekerasan adalah to gain power and controll. Jadi si pelaku nih mau menguasai dan mengendalikan si korban, orang yg di abuse. Dengan banyak cara. That's why, aku bikin tembok tebel dan no tolerance. SOALNYA, aku takut orang-orang tertentu tanpa aku sadari dan tanpa kerelaanku ternyata lagi gaining power and controll ke aku. Aku sangat takut hidupku yang cuma satu dan udah aku pertahanin sedemikian rupa dengan sagala cara ini berakhir dengan tidak jadi milikku lagi. Jadi begitu aku ngerasa kaya, "o-ow ini power and controll" aku langsung kabur. Sesepele apapun.
Makanya aku suka menghindar dan berlari. Itu lebih ke bentuk melindungi diri sih. Sedikit aja sign of abuse, aku akan buru-buru menyelamatkan diri sebelum terlambat. No second thought.
Ini kaya mencari pembenaran dibalik aku yang tukang kabur sih. Mungkin memang iya.
Sebenernya aku mau bilang kalo aku tu kadang cape lari. Tapi aku juga takut terjebak.
Mungkin itu dulu aja, dear diary digital. Semoga tulisan ini ngga jadi boomerang buat aku dan hopefully bisa sama-sama jadi pembelajaran buat aku yang sering lupa diri sendiri dan kita semua.
Aku cinta seisi dunia.