"Home" Is Not A Person

Aku sering denger tentang harapan-harapan dari - well, hopeless romantic person - dan ekspektasi mereka tentang rumah sebagai simbolisme dari perasaan nyaman pada orang lain, terkhusus pasangannya.

Aku nggak tau, mungkin aku yang terlalu lama dan terbiasa apa-apa sendiri sampe di titik aku merasa lebih nyaman sama diri sendiri atau karena aku emang ngga pernah merasa punya siapa-siapa sampe akhirnya aku - yah, balik lagi - merasa terbiasa dan terlalu terbiasa sendiri, makanya aku merasa kesulitan untuk relate dengan simbolisme manusia (pasangan) sebagai rumah.

Rumahku, adalah aku.
Aku adalah diriku, tempat pertama yang akan bisa menerima diriku sendiri apa adanya, yang cinta, yang akan melindungi aku dengan segala usaha yang aku bisa, yang akan memprioritaskan aku. Atau mungkin aku memaknai rumah berbeda dari orang-orang, atau gimana?

Rumah sebagai tempat kembali.
Orang lain sebagai tempat kembali.

Buat aku ini aneh. Karena, menurutku, ketika kita meletakkan tempat kembali kita pada orang lain, hanya akan menimbulkan ketergantungan. Semua yang membuat ketergantungan itu nggak baik. Nggak seharusnya manusia sebagai individu bergantung sama sesuatu yang lain selain Tuhan dan diri sendiri.

Kadang aku merasa aku punya konsep yang salah dalam menjalani kehidupan sebagai manusia. Dan konsep ini mempengaruhi hampir segala pandangan aku dalam menjalani relasi interpersonal.

Bergantung. Bantu. Perbedaan yang begitu jelas, tapi juga begitu tipis.
Tidak apa apa butuh bantuan, tapi haram hukumnya buat bergantung sama makhluk lain di dunia ini. Tuhan bukan makhluk, jadi it's okay untuk bergantung sama Tuhan. Atau berharap bisa bergantung sama Tuhan.

Ketika kita, bergantung sama makhluk lain - anggaplah manusia lain alias orang lain, kita secara sadar menempatkan diri kita di posisi paling lemah. Kenapa? Karena kendali yang kita punya atas diri kita, kemampuan dan kapasitas yang kita punya atas diri kita, kita gantungkan pada orang lain. Kita lepas semua kemampuan dan kapasitas diri yang kita punya untuk mengendalikan segala hal yang seharusnya merupakan kapasitas kita.

Aku tau bahasa dan pemilihan kataku njlimet. I'm trying my best. Marajut pikiran jadi kata-kata itu nggak gampang terlebih ketika udah lama pergelangan tangan ini nggak kita kasih kesempatan untuk melakukan pemanasan.

Tapi intinya adalah, rumah aku anggap sebagai suatu tempat yang seharusnya memberikan kenyamanan, perasaan aman, secure, yang kita banget, sebuah tempat perlindungan, tempat peristirahatan, tempat kembali, tempat kita pulang, tempat kebutuhan kita terpenuhi, udah disesuaikan sama kita, dan lain sebagainya yang saat ini ngga terpikirkan oleh pikiranku saat ini yang terbang-terbang.

Tapi, menjadikan seseorang sebagai rumah, aku pikir adalah hal yang sama(?)
Tapi menurutku manusia bukan untuk dijadikan sebagai rumah.

Menurutku, rumah, seharusnya adalah diri kita sendiri. Kita, adalah tempat kita kembali, tempat ternyaman, tempat teraman, tempat istirahat kita, itu diri sendiri. 

Di sisi lain, aku memikirkan rumah, mungkin yang dimaksud adalah tempat sandaran sementara. Tapi kalau gitu, bukan rumah namanya. Itu tempat singgah aja. Gitu bukan?

Dan sebuah kesalahan menurutku ketika kita jadiin orang lain untuk jadi rumah bagi kita. Selain yang aku udah sebutin tadi, ketergantungan sama dengan melemahkan diri sendiri, juga, karena manusia memang bukan rumah untuk manusia lainnya. Tempat singgah boleh, rumah jangan. Singgah artinya sementara, ketika rumah kita atau diri kita sendiri sedang tidak sanggup untuk menjadi tempat kita kembali, nginep atau numpang sebentar di rumah teman, atau orang lain, atau pasangan, rasanya masih sah-sah aja.

Jadi kesimpulan dari self talk di atas adalah, diri kita sendiri adalah rumah bagi diri kita sendiri. Dirinya adalah rumah bagi dirinya sendiri - siapapun dia. Dan ketika aku dan dia memutuskan untuk bersama, bukan berarti kami meleburkan rumah kami menjadi rumah bersama, tapi kami menciptakan rumah baru bersama. 

Manusia makhluk yang dinamis dan temporary, selalu berubah. Seperti air yang mengalir. Air yang mengairiku saat ini, akan berbeda dengan air yang mengairi aku besok. Kita ngga pernah tau apa yang terjadi ke depannya, kita ngga tau apakah pasangan atau siapapun itu yang kita jadikan rumah akan tetap sama ... yang jelas, meleburkan dua rumah yang berbeda menjadi satu tidak terdengar seperti ide yang bagus buat aku, lebih terlihat terlalu berisiko daripada terdengar "aman" kaya seharusnya.

Dengan kita tetap punya rumah sendiri, alias diri kita sendiri sebagai tempat kembali, apapun yang terjadi, kita tetap akan kembali ke diri sendiri, gitu, kan?

Aku ngga ngerti, konsepu soal ginian sangat berantakan.

Dan anyway dari tadi sepanjang ngetik ini semua, pikiranku ngawang-ngawang ke Jalan Madukoro, pandangannya ngamatin rel sama Banjir Kanal Barat, ngga tau kenapa. Itu tempat yang erat kaitannya sama skripsiku - salah satu sumber penderitaanku tahun ini, tapi uniknya adalah itu tempat yang bisa bikin aku ngrasa aman dan nyaman walaupun tiap ke sana aku selalu menggembel.

Gelap, suara kereta ketemu rel, angin malam, lampu mercusuar, burung pelikan, suara kendaraan di Jalan Sriwijaya, suara palang kereta api nutup, itu entahlah tapi ajaibnya bisa bikin aku fokus. Dan nyaman. Dan rileks. Dan tenang. Jalan Madukoro. 

Postingan populer dari blog ini

My Twilight Girlie Era Is Back!

Synesthesia Experience : Grapheme Synesthesia

the best micellar water so far!