Helplessness

Aku tau cerita tentang hal pribadi di media digital bukan sesuatu yang bijaksana. Dan perasaan juga termasuk hal yang pribadi. Tapi sayangnya aku tahu diri aku memang bukan orang yang bijaksana - kecenderungan untuk bertindak impulsif walaupun otak udah warning JANGANNN. 

Ketika perasaan enggan mendengarkan otak datang, apa daya upaya otak memperingatkan kita? Rasionalitas seolah dikalahkan oleh impulsifitas.

Dan di sinilah kita, di paragraf yang akan mengantarkan kita menuju gerbang privasi seorang aku yang terbuka lebar selebar gerbang menuju Rumah Hades.

Wellcome to No-Privacy Gate

Kadang - sering - beberapa kali - dalam frekuensi yang berulang, aku merasa putus asa. Merasa seolah ngga ada harapan buat aku untuk menjalani hidup dengan lebih baik lagi. Di satu sisi aku merasa ini bukan salahku, tapi di sisi lain, aku tau motivasi dan perasaan berdaya datang dari sendiri. Tapi tetep aja, aku merasa nggak berdaya. Percaya, aku udah coba reach out sana sini, cari bantuan sana sini - yang menurutku ini indikator kalo aku masih pengen bertahan, tapi hasilnya? Aku selalu merasa seolah berdiri di tepi tebing, badai di depan mata, langit gelap, ombak menggulung, dipaksa menghadapi fakta kalo, kata Taylor Swift, "it's me, hi, i'm the problem it's me". Kalo sebenernya semua ada di kontrol aku. Mau gimana pun seisi dunia dukung aku, kalo bukan aku yang berjuang sendiri, nggak akan pernah berhasil. Aku yang harus bergerak penuh semangat dan tanpa menyerah - gigih buat mempertahankan diriku sendiri. Buat meyakinkan diri ini sendiri kalo aku berhak dan layak buat bertahan.

Sayangnya, aku ngrasa udah nggak punya motivasi internal - selain takut masuk neraka - buat bertahan. Selalu ada, nggak juga ngga papa, kok. Nggak harus kan? Nggak juga ngga papa kok.

Bahkan untuk kehidupan itu sendiri, aku, "Nggak juga nggak papa kok".
Aku bisa bilang aku bisa melihat sisi positif dari segala hal. Hampir semua hal malahan. Termasuk kematian. Mati? Baguslah, dosanya nggak nambah. Sisi positif kan?

Tapi aku juga bisa lihat sisi negatif dari segala hal. Hidup? Menderita, maksudnya? Oke mungkin itu lebih ke persepsi. Tapi emang faktanya akan selalu ada positif-negatif dalam suatu hal. Ini kaya semacam dualisme mutlak yang ada pada suatu hal. Karena dunia ini bukan hitam-putih, tapi abu-abu.

Terus apa hubungannya sama helplessness yang aku rasakan? Suatu perasaan tidak berdaya berupa gelombang rasa keputus-asaan. Aku merasa tidak berdaya atas hasratku untuk bertahan hidup itu sendiri. Bukan jadi soal aku gagal menemukan makna hidup atau tujuan hidup ataupun melalui sebuah krisis eksistensial. Tapi pernah nggak kamu ada di titik dimana, kamu udah menerima segala pengalaman positif-negatif yang kamu rasain, kamu udah menemukan makna hidup dan segala pengalaman busuk yang kamu alamin, tapi luka itu terlalu dalam untuk menyembuhkan dirinya sendiri?

Aku mulai mempertanyakan, adakah luka yang selamanya basah, yang nggak kering-kering? Karena kalau ada, satu satunya gambaran di kepalaku adalah luka yang dimiliki sama orang yang mengalami defisiensi vitamin K. Kegagalan proses pembekuan darah. Sampe lalu akhirnya, karena luka itu ngga sembuh-sembuh, luka itu akhirnya membusuk dengan sendirinya, menggerogoti tubuh inangnya tanpa ampun. Defisiensi vitamin K untuk proses mental. Kalau ada, mungkin aku ngalamin itu. 

Luka yang udah kamu terima keberadaannya, tapi disenggol dikit luka itu kebuka lagi. Menahun. Dan aku nggak berdaya untuk sembuhin luka itu sendiri.

Kalo gitu mungkin aku butuh bantuan ahli luka mental. Kaya orang yang ngalamin defisiensi vitamin K butuh bantuan nutritionist untuk memperbaiki gizinya(?)


Postingan populer dari blog ini

My Twilight Girlie Era Is Back!

Synesthesia Experience : Grapheme Synesthesia

the best micellar water so far!